• Sabtu, 20 April 2024

Kejagung Usut Kasus Indikasi Korupsi Pembangunan Depo Minyak Balaraja

Kejagung Usut Kasus Indikasi Korupsi Pembangunan Depo Minyak Balaraja Gedung Kejaksaan Agung RI

Jakarta,TarungNews - Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai melakukan pengusutan terhadap kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Depo Minyak di Balaraja, Tangerang, Banten. Jaksa penyidik pada bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pemeriksaan terhadap eks Direktur Utama PT Pandanwangi Sekartaji (PWS), Johnie Hermanto sebagai saksi. "Diduga ada tindak pidana korupsi di Pertamnia, terkait urusan Depo Balaraja. Dugaan korupsi, ini sudah mulai bergulir. Ini pertama kali (Johnie) dipanggil. Sementara dimintai keterangan masih sebagai saksi," ujar pengacara Johnie, Avianto kepada wartawan di Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Kamis (5/5/2011). Dikatakan Avianto, kliennya pernah menjabat sebagai Dirut PT PWS pada tahun 1994-1996. Dan saat dugaan korupsi ini terjadi pada 1996, kliennya sudah tidak menjabat. Dia pun mengaku membawa sejumlah dokumen yang menunjukkan bahwa kliennya memang sudah tak menjabat saat dugaan korupsi tersebut terjadi. Avianto menerangkan, pemeriksaan pertama kliennya ini masih seputar kedudukannya sebagai Dirut PT PWS saat itu. Menurutnya, Johnie memang mengetahui saat proyek pembangunan Depo Balaraja ini direncanakan. "Masih sekitar kedudukan beliau waktu masih jadi Direktur Utama dan pemilik PT Pandanwangi pada waktu itu. Karena yang namanya Johnie Hermanto ini merupakan orang yang pertama kali mengetahui proyek Balaraja. Jadi mungkin dari pihak penyidik ingin tahu gimana sih ceritanya mengenai ini, sampai akhirnya sekarang beliau bukan pemilik atau pemegang saham," jelas Avianto. Menurut Avianto, kliennya telah melepaskan sahamnya saat Pertamina menggandeng PT PWS sebagai rekanan dalam proyek tersebut. Saat proyek pembangunan Depo Balaraja ini bergulir, Johnie telah melepaskan sahamnya tersebut kepada perusahaan lain. "Dia (Johnie) sudah melakukan pelepasan saham. Menurut klien kami, yang terakhir itu diserahkan ke PT VDH (Van Der Horst) Teguh Sakti, pemiliknya adalah kelompok usaha Sandiaga Uno," tuturnya. Avianto menegaskan, kliennya tidak ikut serta menandatangani perjanjian kerjasama tersebut karena saat itu sudah tidak menjabat sebagai Dirut. "Jadi, beliau sendiri tidak tahu apa yang terjadi setelah dilepaskannya saham maupun kedudukannya sebagai Dirut," tegas Avianto. Sementara itu, Direktur Penyidikan pada Jampidsus Jasman Pandjaitan menuturkan, kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Dalam hal ini, Johnie dimintai keterangan sebagai saksi guna memperdalam pengusutan kasus ini. "Kasus ini kan dari (bidang) intelejen, jadi kami masih pendalaman. Ini masih tahap penyelidikan," terang Jasman. Menurut informasi yang dihimpun, kasus ini berawal pada 1996, saat Pertamina menggandeng PT Pandanwangi Sekartaji (PWS) sebagai rekanan dalam proyek pembangunan Depo Minyak Balaraja di Tangerang. Proyek tersebut diketahui bernilai US$ 20 juta. Namun akhirnya proyek tersebut gagal dilaksanakan akibat krisis moneter. Padahal PT PWS telah membeli tanah seluas 20 hektar untuk proyek tersebut dengan meminjam uang kepada perusahaan Singapura, Van Der Horst Ltd (VDHL). Dalam mendapat pinjaman tersebut, PT PWS menjaminkan sertifikat HGB No 031 atas tanah proyek tadi. Namun kemudian di tengah jalan, VDHL bangkrut terkena krisis keuangan dan dilelang. Lelang dimenangkan oleh pengusaha Edward Soeryadjaya, sehingga sertifikat HGB No 031 yang tadi dijamunkan oleh Pt PWS berada di tangannya. Di tengah perjalanan, PT PWS yang sebelumnya dimiliki Oleh Johnie Hermanto dan Tri Harwanto kemudian disebut-sebut dibeli oleh kelompok perusahaan Sandiaga Uno, yakni PT VDH Teguh Sakti senilai US$ 1,5 juta. Saat dimiliki oleh kelompok perusahaan Sandiaga Uno tersebut, PT PWS lantas meminta ganti rugi kepada Pertamina atas pembatalan sepihak proyek tersebut. Pertamina lantas membayar ganti rugi sebesar US$ 6,4 juta kepada PT PWS, dari total kerugian sebesar US$ 12,8 juta. Namun, saat PT PWS hendak mencairkan ganti rugi tahap kedua, terungkap bahwa sertifikat asli tanah proyek tersebut tidak lagi berada di tangan PT PWS. Yang ada hanya sertifikat HBG No 032, bukan sertifikat HGB No 031, yang asli. PT PWS menyebut sertifikat HGB No 031 tersebut hilang. Padahal diketahui bahwa sertifikat HGB No 031 ada di tangan pengusaha Edward Soeryadjaya. Edward pun lantas mengajukan protes kepada Pertamina. Dan Pertamina memutuskan menunda pembayaran ganti rugi tahap kedua tersebut. Dalam kasus ini, uang negara sebesar US$ 6,4 juta telah mengalir ke PT PWS sebagai bentuk uang ganti rugi. Padahal diketahui belakangan bahwa ada dugaan pemalsuan atau penipuan sertifikat tanah guna mendapatkan pembayaran ganti rugi tersebut. Hal ini dinilai merugikan Pertamina. Namun semua ini masih sebatas dugaan dan tengah ditelusuri oleh pihak Kejagung. *** Tim Jakarta,TarungNews ***

 

Bagikan melalui:

Komentar